Hak Dan Keadilan Untuk Para Butiran Debu
Karya : Adelina
Kurnia Rafica
Dinginnya kota
Jakarta tak di rasakan lagi olehnya. Dia terus berlari, menabrak apa saja yang
ada di hadapannya. Sesekali dia membetulkan jaketnya yang sedikit terbuka.
Setelah merasa cukup aman, dia berhenti berlari dan mengistirahatkan jantungnya. Dia merogoh sakunya, mengambil
bungkusan kecil yang berisi barang yang
selama ini di carinya.
“Akhirnya, aku
dapatkan ini.” Ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang tak bisa diartikan oleh
siapa pun. Setelah puas menatap benda itu, dia memaksakan kakinya untuk
bergerak menuju rumahnya. Sesekali dia menatap langit malam yang sedikit
mendung.
“Kamu dari mana
?” tanya ibunya, saat dia membuka pintu kamarnya. Dia hanya diam, tidak
memedulikan Ibunya.
“Kamu dari
pabrik ?” dia masih membisu dan terpaku di tempat.
“Kapan kamu mau
dengarin mama, Karin ? Semua yang kamu lakuin itu sia-sia. Nggak akan
ngembaliin semuanya.” Ujar mamanya. Karin hanya menunduk, dadanya sesak,
matanya panas. Dia berusaha menahan perasaannya
“Karin
ngelakuin semua ini demi papa dan Vina ma!” teriak Karin. Air matanya mengalir.
“Kamu mau bawa
bukti apa Rin ? kalau pun kamu mempunyai bukti yang sangat kuat untuk
membuktikan semua kejadian ini, kamu tetap tidak akan bisa.” Perkataan mamanya
membuat Karin tersentak dan semakin sakit, dia masuk ke kamarnya dan
menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya. Karin hanya menangis hingga dia
tertidur.
Cahaya matahari yang menembus
jendela kamarnya membangunkan Karin. Dia tertidur karna menangis semalam. Dia
berjalan keluar kamarnya dan mendapati sebuah kertas di atas meja makannya.
Karin, mama
hari ini kerja pagi. Pulangnya malam, tadi mama udah buatin nasi goreng kamu
makan ya.
Dan satu lagi,
kamu jangan ke pabrik.
Mama.
Karin mendengus
membaca isi surat mamanya. Dia membuka tudung saji di atas meja dan memakan
nasi gorengnya.
Setelah itu
Karin bersiap-siap akan melakukan pekerjaan yang sudah di lakukannya selama
setahun belakangan ini. Sejak Papa dan adiknya meninggal, Karin dan mamanya
hanya tinggal berdua. Mamanya bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan
sederhana. Sedangkan Karin, dia selalu pergi pagi dan pulang sore hari, dia
bekerja sebagai buruh di pasar. Dia melakukan itu sejak Ayahnya meninggal, dan
di susul oleh adiknya. Karin selalu menyesali kejadian yang merenggut nyawa dua
orang yang di sayanginya, walaupun dia dan mamanya berusaha untuk selalu tabah
dan sabar. Tapi, itu tak akan mengurangi rasa dendam Karin kepada orang-orang
yang berperan dalam kematian Ayah dan Adiknya.
Waktu menunjukkan pukul 1 siang,
Karin menghitung uang yang di dapatnya hari ini.
“Yahh, Cuma 20
ribu.” Ujar Karin seraya duduk di sebuah balok kayu. Karin hanya termenung, dia
melihat beberapa anak kecil yang sedang bermain bola di lapangan di depannya.
Sesekali matanya hanya terpaku pada seorang cowok yang kelihatannya seumuran
dengannya. Cowok itu menatapnya dan menghampirinya.
“Kelihatannya
dari tadi kamu ngeliatin aku ya ?” tanya cowok itu
“Oh, iya. Kamu
terganggu ya ?”
“Nggak kok.
Cuma agak risih aja di perhatiin. Emang ada yang salah ya ?”
“Nggak ada kok.
Aku seneng aja liat kamu main sama anak-anak itu ?” Jawab Karin. Cowok itu
tersenyum dan duduk di samping Karin.
“Nama kamu
siapa ?” tanya cowok itu
“Karin. Kamu ?”
“Aku Dannis.”
Melalui perkenalan singkat itu, Karin dan Dannis menjadi teman yang akrab. Dan
Karin juga tahu, bahwa sebenarnya Dannis adalah anak orang kaya. Tapi, Dannis
merasa jenuh dengan kehidupan rumahnya dan merasa tak mendapatkan kasih sayang
dari orangtuanya. Hal itu yang menyebabkan Dannis memilih bergabung ke jalanan.
“Kenapa kamu
memilih ke jalanan ? kan masih banyak kerjaan yang lain ?” tanya Karin kepada
Dannis saat mereka sedang di lapangan.
“Kerjaan apa
yang bisa buat aku ?” Dannis balik bertanya
“Kamu kan anak
orang kaya, dan tentu saja orangtua kamu mempunyai banyak rekan bisnis yang
bisa nerima kamu kerja.”
“Mereka kan
rekan bisnis papaku. Walaupun aku mengenal mereka, bukan berarti mereka mau
menerima aku bekerja. Kalau tidak atas dasar nama papaku.”
“Maksudnya ?”
tanya Karin tidak mengerti
“Yahh, mereka
pasti akan tahu kalau aku pergi dari rumah. Dan itu akan membuat mereka
menganggapku bukan anak papaku. Dan, pastinya mereka hanya memandangku rendah.
Dan juga, untuk apa aku bekerja di tempat orang yang tak menganggapku ada. Dan
ternyata bekerja sebagai buruh, tinggal di jalanan, dan bisa bermain bersama
anak-anak itu. Bisa membuatku cukup bahagia dan merasakan arti sebuah
kehidupan. ” Jawab Dannis sambil tersenyum.
“Ya, kamu
betul. Dan di Negeri ini, seolah-oleh yang memiliki hak hanya orang-orang yang
mempunyai nama dan jabatan penting. Sementara orang-orang sepertiku, bagaikan
butiran debu yang menempel di sepatu mereka. Yang selalu berharap akan
datangnya keajaiban. Aku baru sadar Negeri yang membesarkanku ternyata begini.
Sangat lucu...” Karin mencoba tertawa, walau hatinya sakit. Dannis tak tega
mendengar perkataan Karin, dia hanya bisa terdiam dan merenungi apa yang di
katakan Karin.
“Hei, kok
bengong ? pulang yuk, udah sore.” Ajak Karin kepada Dannis. Dannis mengangguk
dan mengikuti Karin. Saat mereka melewati sebuah pabrik roti yang terkenal di
Indonesia, Karin berhenti dan menatap pabrik itu dengan tatapan nanar.
“Kamu kenapa
rin ? kok berhenti ?” tanya dannis.
“Akan
kuceritakan.” Jawab Karin, mereka terus berjalan. di perjalanan Karin menceritakan
kisahnya.
Cerita Karin tadi sore selalu
memenuhi pikiran Dannis. Dadanya terasa sesak jika mengingatnya.
“Pabrik itu
dulu adalah tempat kerja Papaku. Sebelum dia meninggal. Dan dia meninggal juga
karna roti yang ada di pabrik itu.” Karin menarik napas
“Kamu tahu
kasus-kasus kematian direktur atau kepala industri pabrik, yang terjadi setahun
lalu ?” tanya Karin, Dannis hanya mengangguk.
“Ternyata
selama ini, pabrik itu melakukan kecurangan yang sangat kejam. Mereka
menjatuhkan saingan-saingannya dengan membunuhnya, dan setelah direktur
industri itu Meninggal. Otomatis perusahaannya akan goyah dan bangkrut. Dan itu
adalah alasan mengapa pabrik itu tetap berjaya hingga sekarang”
“Lalu, apa
hubungannya dengan Papa kamu ?” tanya Dannis
“Hubungannya ?
Mereka membunuh menggunakan racun yang di masukkan ke dalam roti, lalu menyuruh
saingannya itu untuk mencicipinya. Dan papaku, yang tidak sengaja mengetahui
hal itu protes. Tapi Damar, Direktur pabrik itu. Dia merayu papa agar tidak
berhenti bekerja. Itu juga di lakukannya agar Papa tidak mengadukannya ke
polisi. Papa luluh, dan sebagai rasa terima kasihnya. Damar memberikan papa 5
kotak roti yang baru matang. Tapi, ternyata roti itu berisi racun yang
mematikan itu. Dan Papa bersama Vina, adikku yang ikut memakan roti itu
meninggal dunia.” Dannis kaget mendengar ucapan Karin. Tappi, dia berusaha
tenang.
“Dari mana kamu
tahu semua itu ?” suara Dannis mulai bergetar.
“Aku juga
melihat mereka membuat roti itu. Dan dokter pun bilang begitu. Tapi, dokter
sudah di beri uang untuk tutup mulut. Sehingga dia tidak mau membantuku.” Karin
berusaha untuk tidak menangis. Sementara Dannis terus berusaha menguasai
perasaannya.
Dannis menggeleng keras. Dia tidak
tahu apakah yang di katakan Karin itu kenyataan atau bukan. Dia terus berkata
tidak jika hatinya berkata benar.
Sementara itu,
Karin pulang dan melihat Mamanya tertidur di ruang tamu. Dia berjalan menuju
kamarnya dan mengambil selimut, dia menyelimuti Mamanya dengan penuh kasih
sayang, sesaat dia termenung memandangi wajah Mamanya. Lalu dia berjalan ke
kamarnya dan mengambil sample roti yang dicurinya di pabrik, sample roti yang
berisi racun yang yang merenggut nyawa Ayah dan adiknya.
“Ma, Karin
pergi dulu ya.” Ucap Karin seraya mencium kening Mamanya. Karin berlari menuju
lapangan tempat gerbong-gerbong kereta api yang tidak terpakai lagi. Tujuan
kesini adalah mencari Dannis. Karin mencari ke gerbong tempat Dannis, tapi
tidak ada. Dia berkeliling mencari Dannis.
“Satria...
Dannis mana?” tanya Karin kepada salah satu teman Dannis.
“Tadi, habis
pergi sama kamu dia pulang sebentar. Terus pergi lagi. Arahnya sih ke arah
pabrik roti.” Jelas Satria.
“Makasih ya,
Sat”
“Iya.” Karin
berlari menuju pabrik. Setelah sampai di belakang pabrik, dia mengamati
keadaan. Setelah dirasa aman, dia melompati pagar pabrik yang tidak terlalu
tinggi.
Karin
mengendap-endap masuk ke dalam area pabrik. Dia berusaha mencari sosok Dannis.
Dan dia menemukannya, tapi Karin tidak percaya dengan apa yang di lihatnya dan
di dengarnya.
“Pa, tolong
jelasin sama Dannis pa.” Ujar Dannis
“Apa yang harus
papa jelaskan Dan ?” tanya laki-laki yang dipanggil Dannis Papa, yang tak lain
adalah Damar
Karin tak mau
lagi mendengar pembicaraan dua orang itu, mata sudah dipenuhi oleh air mata.
Dia tidak bisa percaya, orang yang sudah dianggapnya sebagai sahabatnya,
ternyata adalah anak dari orang yang dibencinya. Karin segera meninggalkan
tempat itu. Dan tanpa sepangetahuannya, Dannis melihat Karin pergi.
Seminggu berlalu, sejak kejadian di
pabrik. Sejak itu pula Karin menghindari Dannis. Setiap kali Dannis ingin
menjelaskan apa yang terjadi, Karin selalu menghindar dan tak ingin bertemu
Dannis. Hingga sore ini, Dannis bertekad menemui Karin di rumahnya, dengan harapan
Karin bersedia menemuinya.
Dannis mengetuk
pintu rumah Karin. Perempuan setengah baya membukakan pintu, dia adalah Mama
Karin.
“Permisi. Tante
mamanya Karin?” tanya Dannis sopan
“Iya, betul.
Ada apa ya?” jawab dan tanya Mama Karin.
“Saya teman
Karin tante. Saya mau cari Karin, Karinnya ada ?”
“Oh, ada.
Tunggu sebentar ya” Mama Karin masuk kedalam memanggil Karin. Sementara Dannis
duduk di teras menunggu Karin.
“Karin, ada
teman kamu tuh” Panggil Mama Karin.
“Siapa ma ?”
tanya Karin
“Mama nggak
tahu, kamu liat aja dulu” Karin melangkah keteras rumahnya.
“Dannis.
Ngapain kamu ke sini ?” Tanya Karin ketus
“Karin, aku
Cuma mau bilang kalau aku sama sekali nggak tahu tentang perbuatan Papaku itu.
Dan aku juga awalnya tidak percaya dengan apa yang dilakukannya itu. jadi aku mohon kamu jangan salah paham
dulu.” Ujar Dannis panjang lebar. Karin terdiam sesaat, dia menatap mata
Dannis. Ad kejujuran di sana.
“Hmm. Aku
percaya sma kamu. Kalau begitu, boleh aku menuntut Papamu ?” Ujar Karin.
“Iya. Lakukan,
aku akan membantumu.” Jawab Dannis mantap
“Baiklah kalau
begitu,, kita mulai dari sekarang. Aku ganti baju dulu” Dannis mengangguk. Dia
yakin apa yang dilakukannya benar dan tidak akan ada penyesalan pada akhirnya.
Dannis dan
Karin pergi menemui mantan Dosen Dannis dirumahnya. Dosen Alfie,seorang pakar
kesehatan dan ilmu kimia. Mereka menunjukkan roti yang didapatkan Karin
sebelumnya, dan membawanya ke ruangan lab Pak Allfie. Setelah di cek memang
benar ada zat racun yang sangat berbahaya dan mematikan.
“Kalian harus
menghentikan pabrik itu, sebelum menimbulkan banyak korban lagi,” Ujar Pak
Alfie. Mereka berdua mengangguk dan pamit pulang.
Keesokan harinya Dannis dan Karin
pergi ke kanto polisi untuk melapor. Dan saat disana mereka harus melakukan cek
lab lagi, yang memakan waktu 1 jam.
“Dari mana
kalian mengetahui hal ini ?” tanya seorang polisi.
“Ayah dan adik
saya meninggal karna hal ini setahnu lalu.” Ujar Karin
“Baiklah.kamu
sudah membawa bukti, dan akan memudahkan kami melakukan penangkapan. Sekarang
kalian pulang dulu, pukul 3 siang kita akan ke lokasi.” Ujar sanng polisi.
Karin dan Dannis mengangguk. Mereka pun pulang, Dannis pulang ke rumah Karin
untuk membantu menjelaskan hal ini kepada ibu Karin.
“Kamu berhasil
melaporkan hal ini ke polisi ?” tanya Mama Karin tidak percaya.
“Iya ma. Karin
berhasil, dan ini juga berkat Dannis yang membantu.”
“Terima kasih
Dannis. Tante kira selama ini kami tidak akan bisa melakukan hal ini.”
“Sama-sama
tante” Ucap Dannis.
Pukul 3 siang
polisi beserta Dnnis dan Karin, datang ke pabrik. Polisi segera mengosongkan
dan mengepung pabrik. Tapi, Karin tidak melihat Damar. Dia berlari masuk ke
dalam pabrik tepatnya ke ruangan Damar. Saat dia mengamati setiap sudut
ruangan. Tiba-tiba Damar datang dari arah belakang dan menyodorkan pistol ke
arah Karin.
“Dasar anak
kecil, kukira dulu yang mati adalah kamu! Ternyata, adikmu yang tidak tahu
apa-apa sama sekali” ujar Damar tanpa melepaskan pistolnya.
“Ya, aku juga
menyesal. Kenapa bukan aku yang mati. Dan aku lebih sangat menyesal jika kamu
tidak mati” Karin tersenyum sinis.
“Cih! Kamu
kira, kamu bisa melakukannya ? tidak akan!” ujar Damar
DORRRR !!!!!
Sebuah peluru
dengan mulus masuk ke dalam perut Karin. Dan sebelum dia tak sadarkan diri,
Karin mendengar suara tembakan dan Suara Dannis yang memangilnya. Dannis
menembak ayahnya.
Sudah hampir 3
minggu Karin terbaring di rumah sakit. Akibat peluru yang masuk ke perutnya,
Karin kehilangan satu ginjalnya. Saat terbangun, Karin melihat ibunya menangis.
“Karin, kamu
sudah sadar ?”
“Mama.” Ujar
Karin lirih. Mamanya memeluk Karin dengan lembut. 3 hari sudah, Karin siuman.
Tapi selama itu pula Karin tidak melihat Dannis, orang yang ingin Karin temui
selain Mamanya.
“Ma, Dannis kok
nggak datang-datang jenguk Karin ?” tanya Karin pada Mamanya.
“Dia selalu
jenguk kamu kok. Apalagi setelah dia mendonorkan ginjalnya buat kamu. Dan
sehari sebelum kamu siuman dia berangkat ke USA untuk melanjutkan kuliahnya dan
bekerja disana.” Ujar Mamanya. Karin terkejut mendengar ucapan Mamanya. Dia
lagi-lagi kehilangan orang yang di sayangnya.
5 tahun kemudian. Karna kejadian 5
tahun lalu, Karin mendapatkan beasiswa untuk kuliah lagi, dia kuliah di New
York. Sekarang, dia sudah menjadi Desainer terkenal di New York dan Indonesia.
Dan sejak 5
tahun belakangan ini, Karin tidak pernah bertemu Dannis. Terakhir dia mendengar
kabar dari Dannis, 2 bulan lalu. Dia mendengar kabar bahwa Dannis sudah menjadi
pengusaha sukses di USA. Walaupun begitu, Karin yakin Dannis akan pulang ke
Indonesia dan menemuinya. Dan saat Dannis pulang, Karin akan mengatakan
perasaanya kepada Dannis.
Source: http://koreanlovers05.blogspot.com/2012/09/hak-dan-keadilan-untuk-para-butiran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar